Aku
menikmati kopiku yang saat itu mulai mendingin. Sementara Riber menundukkan
kepalanya seperti sedang memikirkan apa isi otak Descartes saat menulis Discourse of The Method. Kami memang
terbiasa berdiskusi di sini. Tidak hanya kami berdua, banyak lagi kawan-kawan
lain yang juga ikut berdiskusi. Memang kedai kopi ini memiliki atmosfir yang
khas dan terasa pas untuk membicarakan apapun. Tidak heran, banyak yang
ketagihan dan menjadikan kedai ini sebagai tongkrongan
tetap. Padahal menunya jauh kalah
bersaing dengan kedai-kedai kopi lain di sekitar sini.
“Tidak!
Aku hanya bercanda. Aku tidak mungkin menguangkan apa yang aku anggap sebagai
perbuatan mulia. Kalau tidak, artinya aku sama saja dengan orang-orang shaleh
itu.” Ungkap Riber melanjutkan diskusi kami tentang sampah.
“Iya,
aku juga hanya bercanda. Mari kita sedikit serius membicarakan masalah sampah
ini.” Jawabku
“Ah,
kenapa harus serius? Memangnya kamu peduli apa? Ini sungai di sekitar rumahku.”
Respon Riber ketus.
“Jangan
bodoh, bujang! Rumahku tidak jauh dari sungai yang sedang kita bicarakan.
Lagipula aku lebih sering menghabiskan waktu di warung kopi keparat ini yang
justru sangat dekat dengan sungai penuh sampah itu.”
“Bohong!
Kamu tidak benar-benar peduli! Mana bukti kepedulianmu? Jangan-jangan kamu
hanya ingin menghargai apa yang ku bicarakan.”
“Pantaskah
kamu menanyakan bukti kepedulian pada seorang yang rumahnya tidak sedekat
rumahmu dengan sungai memprihatinkan itu? Membantumu berpikir saja sudah cukup
menjadi bukti kepedulianku. Tinggal kamu sebagai tuan rumah yang harusnya
bergerak.” Aku membela diri.
Riber
terdiam dan menyeruput kopinya.
Aku
tertarik untuk memikirkan masalah kepedulian yang baru saja Riber tanyakan
kepadaku. Aku tidak heran jika Riber menanyakan kesungguhan atas kepedulianku.
Bahkan sangat wajar dan harus. Karena jika kita berbicara masalah kepedulian,
sejatinya kita juga berbicara masalah siapa yang akan membantu kita untuk
menemukan solusi dan bergerak mewujudkan solusi itu.
Kepedulian
adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan unik. Dia hanya dirasakan oleh hati
namun dapat membuat orang berpikir bahkan lebih jauh dapat membuat orang
bertindak. Misalnya ketika terjadi bencana alam, kita merasakan sesuatu di
dalam hati, sebuah perasaan aneh yang mendalam saat melihat adanya korban dalam
bencana itu dan membuat kita kasihan bahkan bersedih. Setelah mengetahui adanya
korban dalam bencana alam yang membuat kita bersedih, perasaan aneh itu bisa
berkembang menjadi keinginan untuk membantu, keinginan untuk membantu ini yang
pada akhirnya menstimulasi kita untuk berpikir. Ketika kita sudah berpikir dan
memutuskan bahwa membantu adalah sesuatu yang baik, maka kita akan bertindak
untuk membantu korban bencana alam.
Perlu
dipahami, apa yang ku pikirkan tentang kepedulian di atas adalah bagaimana aku
memahami kepedulian dalam diriku sendiri. Pasti ada yang memahami kepedulian
dengan cara yang berbeda dan itu sah-sah saja, selama tidak memaksaku untuk
menganut kepedulian versinya. Aku juga sadar bahwa kepedulian terlalu abstrak
dan luas untuk pendapatku sendiri.
Aku
suka sekali menekankan bahwa kepedulian yang aku pahami bertitikfokus pada
perasaan, bukan pikiran atau tindakan setelahnya. Karena bagiku, perasaan
adalah fondasi dari segala pikiran dan tindakan. Ketika kita memikirkan
penderitaan yang dialami buruh atau bahkan ikut turun ke jalan untuk membela
hak-hak buruh, pada dasarnya terlebih dahulu kita memiliki kepedulian terhadap
buruh. Aku rasa tidak mungkin ada seorang manusia yang pikiran dan tindakannya
tidak dipengaruhi oleh perasaan. Entah itu perasan negatif atau positif, pasti
pada awalnya manusia berpikir dan bergerak karena perasaan.
Aku
juga merasakan bahwa perasaan pada hakikatnya memiliki dua sisi, negatif dan
positif. Perasaan-perasaan negatif bagiku adalah perasaan-perasaan yang membawa
kita bukan kepada pemikiran yang maju, namun kepada pemikiran yang bersifat
negatif juga. Bagiku perasaan berbanding lurus dengan pikiran dan tindakan.
Perasaan positif pasti akan menimbulkan pikiran dan tindakan yang positif.
Begitu juga sebaliknya. Contohnya seperti ketika ada seseorang yang memberikan
bantuan kepada satu daerah supaya daerah tersebut memilihnya menjadi pejabat.
Pikiran dan tindakannya aku yakin persis seperti ketika seseorang didasari oleh
kepedulian. Namun, karena perasaan yang dimiliki di awal adalah negatif, yaitu
kepentingan diri sendiri—apapun motifnya, maka sejatinya, dia sudah berpikir
dan bertindak negatif.
Mungkin
pendapatku ini juga sedikit dipengaruhi oleh pemikiran Immanuel Kant yang
menitikberatkan etikanya pada “good will”
atau niat baik atau keinginan untuk berbuat baik. Baginya, seluruh tindakan
tidaklah bisa menjadi tolak ukur moralitas, karena manusia tidak pernah bisa
untuk mengetahui hasil akhir dari apa yang akan dia lakukan. Banyak
tindakan-tindakan yang terlihat bermoral tapi tidak didasari niat baik. Contohnya
persis seperti kasus calon pejabat korup di atas. Oleh sebab itu, Kant
menyatakan bahwa satu-satunya perbuatan baik adalah keinginan untuk berbuat
baik. Kalau kita sudah ingin untuk berbuat baik, pasti menghasilkan tindakan
yang juga baik menurut kita. Masalah dilihat oleh manusia sebagai tindakan yang
kurang baik atau bagaimana, itu masalah penafsiran orang lain belaka. Lagipula
juga kita harus sadari, sebermoral apapun tindakan yang kita lakukan, akan
selalu ada yang menganggapnya tidak bermoral. Bukankah tersenyum ke orang yang
tidak dikenal di Indonesia adalah bentuk keramahan, sementara di Rusia itu
adalah bentuk perbuatan yang kurang sopan?
“Hei, berbicara masalah kepedulian, percayalah
tindakanku untuk membantumu menemukan solusi ini berasal dari perasaanku yang
terdalam.” Aku menyapa Riber yang sepertinya ingin bicara tapi segan.
“Iya.
Lantas bagaimana solusi yang kau tawarkan? Tentunya selain Lembaga Da’wah
Sampah itu.” Tanya Riber.
“Aku
serius masalah Lembaga Da’wah Sampah itu. Aku rasa memang itu adalah cara yang
tepat untuk membuat manusia di daerahmu sadar akan ancaman sampah. Yang
sekarang menjadi diskusi kita sebaiknya adalah cara yang tepat untuk
menyadarkan. Dan aku mohon jangan kita membahas kalau kamu harus menggunakan
atribut keagaaman. Itu menjengkelkan jika harus membayangkannya.”
“Bagaimana
kalau setelah kita membangun Lembaga Da’wah Sampah itu, kita bergerak sendiri
tanpa ada bantuan masyarakat. Artinya kita berikan masyarakat melihat bahwa
tindakan kita bukanlah main-main. Dengan melihat tindakan kita, bisa saja
masyarakat akhirnya tersadar dan ikut membantu.” Riber melemparkan solusi
serius pertama.
“Emmm.
Idemu cukup bagus. Tapi jika melakukan itu, kita harus siap untuk konsisten dan
siap menerima hujatan masyarakat yang mengatakan kita “sok” peduli pada lingkungan. Terlebih kita bukan dari background
orang terpandang. Aku tidak bermasksud melemahkan, tapi rasanya naif jika
seluruh anggota Lembaga Da’wah Sampah ini akan bertahan dari serangan pandangan
masyarakat yang lumayan bar-bar itu.”
“Benar
juga. Itu perlu dipertimbangkan. Lalu bagaimana?”
“Nah,
solusi yang ku tawarkan adalah menanamkan kepedulian yang besar kepada
anggota-anggora Lembaga Da’wah Sampah terlebih dahulu. Artinya kita berangkat
dari anggota kita sendiri. Kalau sekarang kita hanya punya anggota dua orang,
itu adalah kamu dan aku, maka kita tanamkan dulu sedalam-dalamnya kepedulian
kita kepada lingkungan, khususnya sungai yang kita bicarakan ini. Aku yakin
lama-kelamaan kita akan punya anggota
yang juga kita akan tanamkan kepedulian yang sama, sehingga kita kokoh dari
dalam.” Aku menyampaikan solusi berdasarkan pemikiranku.
“Wah,
solusimu lumayan juga. Baiklah kita akan lahirkan Lembaga Da’wah Sampah detik
ini juga. Aku akan mulai berda’wah hari ini ke teman-teman tongkrongan yang
lain kalau mereka sudah datang.”
“Oke.
Saya akan teruskan bacaanku dan menghabiskan kopiku.”
Riber
beranjak pergi entah ke mana saat aku mengambil bukuku dan mulai membukanya.
Sepertinya dia akan berpikir serius. Aku tersenyum.
“Akhirnya
pengangguran ulung itu punya sesuatu untuk dikerjakan.” Kataku dalam hati.