Rabu, 03 Juli 2019

Hijrah : Bertuhan atau Trend?


            Fenomena hijrah belakangan ini begitu meramaikan jagat kehidupan masyarakat Indonesia. Banyak penceramah-penceramah yang ada di media sosial terus menyuarakan hijrah sebagai standar moralitas milenial. Banyak pula pemuda-pemudi yang merasa sudah hijrah hanya karena mendengar ceramah satu menit, dua menit di media sosial mengatakan bahwa orang-orang yang belum hijrah belum menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Benarkah demikian?
            Hijrah secara harfiah artinya meninggalkan. Namun, hijrah dapat diartikan sebagai sesuatu yang esensial, yaitu usaha atau kondisi manusia untuk meninggalkan duniawi dan menyerahkan dirinya kepada Allah secara menyeluruh. Ini pandangan para sufi tentang hijrah. Berdasarkan hadits Nabi SAW yang diterangkan oleh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam yang artinya, “Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW, ‘Siapa saja yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Tetapi siapa yang berhijrah kepada dunia yang akan ditemuinya, atau kepada perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya.’ Pahamilah sabda Rasulullah SAW ini. renungkanlah bila kau termasuk orang yang memiliki daya paham.”
            Jadi, mari kita sepakati bahwa dalam ilmu Tasawuf, hijrah memiliki arti menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan Rasulnya dan meninggalkan urusan duniawi. Jelas hijrah inilah yang dimaksudkan dengan “Taqwa”. Penyerahan diri secara total kepada Allah semata, tidak melakukan apa yang tidak diperintahkan oleh Allah dan menjalani semua yang dilarang oleh Allah disertai dengan kesadaran akan penghambaan kita kepada Allah. Bahwa kita hanyalah hamba. Bahwa kita hanyalah makhluk dan Dia adalah Khalik. Kita adalah mumkinul wujud (mungkin ada) dan Dia adalah wajibul wujud (pasti ada).
            Perlu digaris bawahi bahwa yang menjadi titik kritik atas fenomena hijrah belakangan ini adalah para pelaku hijrah yang merasa dirinya paling benar dan menyalah-nyalahkan orang lain, membid’ah-bid’ahkan orang lain, meng-kafir-kafirkan orang lain dan menilai-nilai orang lain. Para pelaku hijrah merasa paling bertaqwa kepada Allah, paling taat kepada Allah sehingga dapat hak dari Allah untuk menyalah-nyalahkan orang lain. Padahal sejatinya, Taqwa itu bukan hanya perkara shalat, puasa, zakat, haji dan kuota youtube yang habis untuk menonton ceramah tentang pernikahan, tapi taqwa itu juga tentang syahadat, yaitu pengakuan kita kepada Allah bahwa kita adalah hambanya. Menilai orang lain itu bukanlah tugas manusia, menilai itu adalah tugas Allah sebagai Tuhan, sebagai yang Maha Tinggi untuk memberikan penilaian akhir seseorang. Jika pelaku hijrah menganggap diri mereka bertaqwa, harusnya para pelaku hijrahlah yang paling menerapkan “don’t judge a book by it’s cover” karena kepahaman dan keshalehan yang para pelaku hijrah miliki. Lantas kenapa malah sebaliknya? Adakah yang salah dengan hijrah mereka?
            Hanya ada satu jawaban, yaitu karena terlalu sedikit ilmu barakah yang mereka miliki. Tentu ilmu adalah segala hal yang dapat mengantarkan kita kepada kesejatian kita sebagai manusia, yaitu sebagai hamba. Itu sebabnya Rasulullah banyak bersabda tentang keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu. Ilmu dapat didapatkan dari mana dan di mana saja. Karena semua yang ada di muka bumi ini dibuat oleh Allah sebagai suatu pembelajaran untuk manusia, karena manusialah satu-satunya objek yang diberikan anugrah untuk memilih yang baik atau buruk dengan akalnya. Itu sebabnya banyak Allah sebutkan dalam Al Qur’an, “agar kamu berpikir.”
            Lalu kalau begitu, tentu saja youtube juga bisa menjadi sarana kita untuk menuntut ilmu. Namun, sekirannya dipahami terlebih dahulu bahwa ilmu itu tidak bisa didapatkan keberkahannya apabila tidak ada usaha yang keras untuk mendapatkannya. Ulama-ulama dan Imam-Imam terdahulu harus bersimbah keringat bahkan darah untuk bisa mendapatkan ilmu dan menjaga juga melestarikannya agar umat manusia tidak tersesat di akhir zaman. Para ulama dan imam itu tidak pernah lelah siang dan malam menuntut ilmu sebanyak mungkin guna menjaga kita. Sampai mungkin habis waktu yang mereka miliki agar kita mendapatkan pencerahan dan tak kembali ke zaman jahiliyah. Itu sebabnya usaha itu selalu diperhitungkan Allah saat memberikan keberkahan.
            Lalu entah kenapa di zaman kita ini dengan mudahnya orang menyalahkan orang lain hanya karena baru mendapatkan ilmu di media sosial yang mungkin saat menonton itu bisa saja sambil bersantai-santai makan kacang, ngopi atau sambil membalas chat whatsapp. Jelas itu ada kesalahan dalam tata cara menuntu ilmu. Tidak ada pengorbanan, tidak ada barakah. Tidak ada barakah, ilmunya jadi tidak bermanfaat. Kemudian jadilah manusia-manusia yang gemar menyalahkan manusia lain.
            Maka dari itu, mari kita sama-sama kembali kepada esensi hijrah yang sebenarnya. Hijrah yang diajarkan oleh para ulama kita, para imam kita dan para sufi, agar kita bisa menjadi manusia seutuhnya. Menjadi manusia yang sadar bahwa posisinya di alam semesta ini hanya sebagai hamba dari Tuhan yang Maha Kuat, Maha Keren, Maha Asyik dan Maha Tidak Gampang Marah.


Wallahua'lam