Fenomena hijrah
belakangan ini begitu meramaikan jagat kehidupan masyarakat Indonesia. Banyak penceramah-penceramah
yang ada di media sosial terus menyuarakan hijrah sebagai standar moralitas
milenial. Banyak pula pemuda-pemudi yang merasa sudah hijrah hanya karena
mendengar ceramah satu menit, dua menit di media sosial mengatakan bahwa
orang-orang yang belum hijrah belum menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Benarkah
demikian?
Hijrah secara harfiah
artinya meninggalkan. Namun, hijrah dapat diartikan sebagai sesuatu yang
esensial, yaitu usaha atau kondisi manusia untuk meninggalkan duniawi dan
menyerahkan dirinya kepada Allah secara menyeluruh. Ini pandangan para sufi
tentang hijrah. Berdasarkan hadits Nabi SAW yang diterangkan oleh Ibnu
Athaillah dalam Al-Hikam yang artinya, “Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW, ‘Siapa
saja yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan
rasul-Nya. Tetapi siapa yang berhijrah kepada dunia yang akan ditemuinya, atau
kepada perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya kepada sasaran
hijrahnya.’ Pahamilah sabda Rasulullah SAW ini. renungkanlah bila kau termasuk
orang yang memiliki daya paham.”
Jadi, mari kita
sepakati bahwa dalam ilmu Tasawuf, hijrah memiliki arti menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah dan Rasulnya dan meninggalkan urusan duniawi. Jelas hijrah
inilah yang dimaksudkan dengan “Taqwa”. Penyerahan diri secara total kepada
Allah semata, tidak melakukan apa yang tidak diperintahkan oleh Allah dan
menjalani semua yang dilarang oleh Allah disertai dengan kesadaran akan penghambaan
kita kepada Allah. Bahwa kita hanyalah hamba. Bahwa kita hanyalah makhluk dan
Dia adalah Khalik. Kita adalah mumkinul wujud (mungkin ada) dan Dia adalah
wajibul wujud (pasti ada).
Perlu digaris bawahi
bahwa yang menjadi titik kritik atas fenomena hijrah belakangan ini adalah para
pelaku hijrah yang merasa dirinya paling benar dan menyalah-nyalahkan orang
lain, membid’ah-bid’ahkan orang lain, meng-kafir-kafirkan orang lain dan
menilai-nilai orang lain. Para pelaku hijrah merasa paling bertaqwa kepada
Allah, paling taat kepada Allah sehingga dapat hak dari Allah untuk
menyalah-nyalahkan orang lain. Padahal sejatinya, Taqwa itu bukan hanya perkara
shalat, puasa, zakat, haji dan kuota youtube yang habis untuk menonton ceramah
tentang pernikahan, tapi taqwa itu juga tentang syahadat, yaitu pengakuan kita
kepada Allah bahwa kita adalah hambanya. Menilai orang lain itu bukanlah tugas
manusia, menilai itu adalah tugas Allah sebagai Tuhan, sebagai yang Maha Tinggi
untuk memberikan penilaian akhir seseorang. Jika pelaku hijrah menganggap diri
mereka bertaqwa, harusnya para pelaku hijrahlah yang paling menerapkan “don’t
judge a book by it’s cover” karena kepahaman dan keshalehan yang para
pelaku hijrah miliki. Lantas kenapa malah sebaliknya? Adakah yang salah dengan
hijrah mereka?
Hanya ada satu jawaban,
yaitu karena terlalu sedikit ilmu barakah yang mereka miliki. Tentu ilmu adalah
segala hal yang dapat mengantarkan kita kepada kesejatian kita sebagai manusia,
yaitu sebagai hamba. Itu sebabnya Rasulullah banyak bersabda tentang keutamaan
ilmu dan orang-orang yang berilmu. Ilmu dapat didapatkan dari mana dan di mana
saja. Karena semua yang ada di muka bumi ini dibuat oleh Allah sebagai suatu
pembelajaran untuk manusia, karena manusialah satu-satunya objek yang diberikan
anugrah untuk memilih yang baik atau buruk dengan akalnya. Itu sebabnya banyak
Allah sebutkan dalam Al Qur’an, “agar kamu berpikir.”
Lalu kalau begitu, tentu
saja youtube juga bisa menjadi sarana kita untuk menuntut ilmu. Namun,
sekirannya dipahami terlebih dahulu bahwa ilmu itu tidak bisa didapatkan
keberkahannya apabila tidak ada usaha yang keras untuk mendapatkannya. Ulama-ulama
dan Imam-Imam terdahulu harus bersimbah keringat bahkan darah untuk bisa
mendapatkan ilmu dan menjaga juga melestarikannya agar umat manusia tidak
tersesat di akhir zaman. Para ulama dan imam itu tidak pernah lelah siang dan
malam menuntut ilmu sebanyak mungkin guna menjaga kita. Sampai mungkin habis
waktu yang mereka miliki agar kita mendapatkan pencerahan dan tak kembali ke
zaman jahiliyah. Itu sebabnya usaha itu selalu diperhitungkan Allah saat
memberikan keberkahan.
Lalu entah kenapa di
zaman kita ini dengan mudahnya orang menyalahkan orang lain hanya karena baru
mendapatkan ilmu di media sosial yang mungkin saat menonton itu bisa saja
sambil bersantai-santai makan kacang, ngopi atau sambil membalas chat whatsapp.
Jelas itu ada kesalahan dalam tata cara menuntu ilmu. Tidak ada pengorbanan,
tidak ada barakah. Tidak ada barakah, ilmunya jadi tidak bermanfaat. Kemudian
jadilah manusia-manusia yang gemar menyalahkan manusia lain.
Maka dari itu, mari
kita sama-sama kembali kepada esensi hijrah yang sebenarnya. Hijrah yang
diajarkan oleh para ulama kita, para imam kita dan para sufi, agar kita bisa
menjadi manusia seutuhnya. Menjadi manusia yang sadar bahwa posisinya di alam semesta
ini hanya sebagai hamba dari Tuhan yang Maha Kuat, Maha Keren, Maha Asyik dan
Maha Tidak Gampang Marah.
Wallahua'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar