Jumat, 22 November 2019

Lembaga Da'wah Sampah Itu Serius



            Aku menikmati kopiku yang saat itu mulai mendingin. Sementara Riber menundukkan kepalanya seperti sedang memikirkan apa isi otak Descartes saat menulis Discourse of The Method. Kami memang terbiasa berdiskusi di sini. Tidak hanya kami berdua, banyak lagi kawan-kawan lain yang juga ikut berdiskusi. Memang kedai kopi ini memiliki atmosfir yang khas dan terasa pas untuk membicarakan apapun. Tidak heran, banyak yang ketagihan dan menjadikan kedai ini sebagai tongkrongan tetap.  Padahal menunya jauh kalah bersaing dengan kedai-kedai kopi lain di sekitar sini.
            “Tidak! Aku hanya bercanda. Aku tidak mungkin menguangkan apa yang aku anggap sebagai perbuatan mulia. Kalau tidak, artinya aku sama saja dengan orang-orang shaleh itu.” Ungkap Riber melanjutkan diskusi kami tentang sampah.
            “Iya, aku juga hanya bercanda. Mari kita sedikit serius membicarakan masalah sampah ini.” Jawabku
            “Ah, kenapa harus serius? Memangnya kamu peduli apa? Ini sungai di sekitar rumahku.” Respon Riber ketus.
            “Jangan bodoh, bujang! Rumahku tidak jauh dari sungai yang sedang kita bicarakan. Lagipula aku lebih sering menghabiskan waktu di warung kopi keparat ini yang justru sangat dekat dengan sungai penuh sampah itu.”
            “Bohong! Kamu tidak benar-benar peduli! Mana bukti kepedulianmu? Jangan-jangan kamu hanya ingin menghargai apa yang ku bicarakan.”
            “Pantaskah kamu menanyakan bukti kepedulian pada seorang yang rumahnya tidak sedekat rumahmu dengan sungai memprihatinkan itu? Membantumu berpikir saja sudah cukup menjadi bukti kepedulianku. Tinggal kamu sebagai tuan rumah yang harusnya bergerak.”  Aku membela diri.
            Riber terdiam dan menyeruput kopinya.
            Aku tertarik untuk memikirkan masalah kepedulian yang baru saja Riber tanyakan kepadaku. Aku tidak heran jika Riber menanyakan kesungguhan atas kepedulianku. Bahkan sangat wajar dan harus. Karena jika kita berbicara masalah kepedulian, sejatinya kita juga berbicara masalah siapa yang akan membantu kita untuk menemukan solusi dan bergerak mewujudkan solusi itu.
            Kepedulian adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan unik. Dia hanya dirasakan oleh hati namun dapat membuat orang berpikir bahkan lebih jauh dapat membuat orang bertindak. Misalnya ketika terjadi bencana alam, kita merasakan sesuatu di dalam hati, sebuah perasaan aneh yang mendalam saat melihat adanya korban dalam bencana itu dan membuat kita kasihan bahkan bersedih. Setelah mengetahui adanya korban dalam bencana alam yang membuat kita bersedih, perasaan aneh itu bisa berkembang menjadi keinginan untuk membantu, keinginan untuk membantu ini yang pada akhirnya menstimulasi kita untuk berpikir. Ketika kita sudah berpikir dan memutuskan bahwa membantu adalah sesuatu yang baik, maka kita akan bertindak untuk membantu korban bencana alam.
            Perlu dipahami, apa yang ku pikirkan tentang kepedulian di atas adalah bagaimana aku memahami kepedulian dalam diriku sendiri. Pasti ada yang memahami kepedulian dengan cara yang berbeda dan itu sah-sah saja, selama tidak memaksaku untuk menganut kepedulian versinya. Aku juga sadar bahwa kepedulian terlalu abstrak dan luas untuk pendapatku sendiri.
            Aku suka sekali menekankan bahwa kepedulian yang aku pahami bertitikfokus pada perasaan, bukan pikiran atau tindakan setelahnya. Karena bagiku, perasaan adalah fondasi dari segala pikiran dan tindakan. Ketika kita memikirkan penderitaan yang dialami buruh atau bahkan ikut turun ke jalan untuk membela hak-hak buruh, pada dasarnya terlebih dahulu kita memiliki kepedulian terhadap buruh. Aku rasa tidak mungkin ada seorang manusia yang pikiran dan tindakannya tidak dipengaruhi oleh perasaan. Entah itu perasan negatif atau positif, pasti pada awalnya manusia berpikir dan bergerak karena perasaan.
            Aku juga merasakan bahwa perasaan pada hakikatnya memiliki dua sisi, negatif dan positif. Perasaan-perasaan negatif bagiku adalah perasaan-perasaan yang membawa kita bukan kepada pemikiran yang maju, namun kepada pemikiran yang bersifat negatif juga. Bagiku perasaan berbanding lurus dengan pikiran dan tindakan. Perasaan positif pasti akan menimbulkan pikiran dan tindakan yang positif. Begitu juga sebaliknya. Contohnya seperti ketika ada seseorang yang memberikan bantuan kepada satu daerah supaya daerah tersebut memilihnya menjadi pejabat. Pikiran dan tindakannya aku yakin persis seperti ketika seseorang didasari oleh kepedulian. Namun, karena perasaan yang dimiliki di awal adalah negatif, yaitu kepentingan diri sendiri—apapun motifnya, maka sejatinya, dia sudah berpikir dan bertindak negatif.
            Mungkin pendapatku ini juga sedikit dipengaruhi oleh pemikiran Immanuel Kant yang menitikberatkan etikanya pada “good will” atau niat baik atau keinginan untuk berbuat baik. Baginya, seluruh tindakan tidaklah bisa menjadi tolak ukur moralitas, karena manusia tidak pernah bisa untuk mengetahui hasil akhir dari apa yang akan dia lakukan. Banyak tindakan-tindakan yang terlihat bermoral tapi tidak didasari niat baik. Contohnya persis seperti kasus calon pejabat korup di atas. Oleh sebab itu, Kant menyatakan bahwa satu-satunya perbuatan baik adalah keinginan untuk berbuat baik. Kalau kita sudah ingin untuk berbuat baik, pasti menghasilkan tindakan yang juga baik menurut kita. Masalah dilihat oleh manusia sebagai tindakan yang kurang baik atau bagaimana, itu masalah penafsiran orang lain belaka. Lagipula juga kita harus sadari, sebermoral apapun tindakan yang kita lakukan, akan selalu ada yang menganggapnya tidak bermoral. Bukankah tersenyum ke orang yang tidak dikenal di Indonesia adalah bentuk keramahan, sementara di Rusia itu adalah bentuk perbuatan yang kurang sopan?
             “Hei, berbicara masalah kepedulian, percayalah tindakanku untuk membantumu menemukan solusi ini berasal dari perasaanku yang terdalam.” Aku menyapa Riber yang sepertinya ingin bicara tapi segan.
            “Iya. Lantas bagaimana solusi yang kau tawarkan? Tentunya selain Lembaga Da’wah Sampah itu.” Tanya Riber.
            “Aku serius masalah Lembaga Da’wah Sampah itu. Aku rasa memang itu adalah cara yang tepat untuk membuat manusia di daerahmu sadar akan ancaman sampah. Yang sekarang menjadi diskusi kita sebaiknya adalah cara yang tepat untuk menyadarkan. Dan aku mohon jangan kita membahas kalau kamu harus menggunakan atribut keagaaman. Itu menjengkelkan jika harus membayangkannya.”
            “Bagaimana kalau setelah kita membangun Lembaga Da’wah Sampah itu, kita bergerak sendiri tanpa ada bantuan masyarakat. Artinya kita berikan masyarakat melihat bahwa tindakan kita bukanlah main-main. Dengan melihat tindakan kita, bisa saja masyarakat akhirnya tersadar dan ikut membantu.” Riber melemparkan solusi serius pertama.
            “Emmm. Idemu cukup bagus. Tapi jika melakukan itu, kita harus siap untuk konsisten dan siap menerima hujatan masyarakat yang mengatakan kita “sok” peduli pada lingkungan. Terlebih kita bukan dari background orang terpandang. Aku tidak bermasksud melemahkan, tapi rasanya naif jika seluruh anggota Lembaga Da’wah Sampah ini akan bertahan dari serangan pandangan masyarakat yang lumayan bar-bar itu.”
            “Benar juga. Itu perlu dipertimbangkan. Lalu bagaimana?”
            “Nah, solusi yang ku tawarkan adalah menanamkan kepedulian yang besar kepada anggota-anggora Lembaga Da’wah Sampah terlebih dahulu. Artinya kita berangkat dari anggota kita sendiri. Kalau sekarang kita hanya punya anggota dua orang, itu adalah kamu dan aku, maka kita tanamkan dulu sedalam-dalamnya kepedulian kita kepada lingkungan, khususnya sungai yang kita bicarakan ini. Aku yakin lama-kelamaan  kita akan punya anggota yang juga kita akan tanamkan kepedulian yang sama, sehingga kita kokoh dari dalam.” Aku menyampaikan solusi berdasarkan pemikiranku.
            “Wah, solusimu lumayan juga. Baiklah kita akan lahirkan Lembaga Da’wah Sampah detik ini juga. Aku akan mulai berda’wah hari ini ke teman-teman tongkrongan yang lain kalau mereka sudah datang.”
            “Oke. Saya akan teruskan bacaanku dan menghabiskan kopiku.”
            Riber beranjak pergi entah ke mana saat aku mengambil bukuku dan mulai membukanya. Sepertinya dia akan berpikir serius. Aku tersenyum.
“Akhirnya pengangguran ulung itu punya sesuatu untuk dikerjakan.” Kataku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar