Aku sedang duduk
menikmati kopiku sambil membaca buku di sebuah kedai kopi langgananku, Bangdik
namanya. Tiba-tiba Riber menggebrak mejaku dan menghardik penganjur keshalehan
yang saat itu sedang menancapkan dogma pada masyarakat di masjid sekitar daerahnya.
“Aku
sungguh tidak habis pikir bagaimana masyarakat bisa percaya pada omong kosong
si shaleh itu!”
“Maksudnya?”
Aku mencoba mendengar penjelasan.
“Maksudku
dia selalu berbicara nikmatnya surga dan panasnya neraka sampai orang selalu berbondong-bondong
shalat berjamaah di Masjid setiap hari.”
“Oke.
Bukankah itu sesuatu yang bagus?”
“Tidak!
Itu bukanlah sesuatu yang bagus, itu adalah penghinaan bagi Tuhan karena mereka
terlalu sibuk pada ritual penyembahan mereka sampai mereka lupa bahwa di
sekitar mereka ada sungai yang tersumbat karena sampah mulai menggunung.”
Aku
terdiam dan mulai berpikir. Riber memang tinggal di kawasan yang padat
penduduk. Di daerah tempat tinggalnya selain dipenuhi oleh masyarakat asli, di
sana, juga dipenuhi oleh para pelajar yang tinggal sementara dan belajar di
yayasan yang dekat dengan kawasan tersebut. Ada sungai yang tidak terlalu besar
yang di atasnya sudah dibangun jembatan sejak bertahun-tahun lalu. Ketika aku
masih di bangku sekolah dasar, sungai itu masih bisa digunakan untuk mandi.
Tapi entah kenapa setelah aku berumur dua puluh tahun lebih, sungai itu beralih
fungsi menjadi tempat sampah.
Ada
beberapa spekulasi yang hadir di kepalaku. Yang pertama, nasib sungai yang
keberadaannya sudah di bawah jembatan yang bisa dilalui manusia sesuka hati
pasti menjadi tempat pembuangan sampah. Tidak selalu pasti di setiap zaman,
tapi sudah pasti di zaman ini. Kebanyakan sungai-sungai yang di atasnya ada
jembatan, pasti penuh dengan sampah plastik, popok bayi, dan sampah-sampah
lainnya. Itu menyebalkan! Tidak ada selain manusia yang bertanggung jawab atas
semua ini. Hanya manusia yang tak bisa berpisah dengan plastik. Hanya manusia
yang makna penafisran “membuang sampah” adalah menyingkirkan dari pandangan.
Hanya manusia yang menggunakan popok dengan penuh harapan agar bayi mereka
tidak merepotkan, tapi manusia terlalu tidak berpandangan kedepan sehingga
kebersihan lingkungan hidup anaknya tidak dipedulikan dengan membuang popok itu
di sungai. Maaf, aku tidak bisa berspekulasi lain, selain ini adalah ulah
tangan manusia. Dan mungkin bisa sedikit lebih meyakinkan bahwa di bagian yang
jauh dari jembatan, aku melihat masih banyak sungai yang memiliki potensi
kehidupan layak tanpa sampah. Ikan-ikan mujair bergerak bebas, bau tidak sedap
lenyap, suara gemericik air masih menenangkan dan tidak lagi menjijikan.
Kalaupun ada sampah, itu adalah sampah kiriman dari jembatan sebelumnya. Itu
juga tidak sebanyak yang ada di bawah jembatan. Masih mau mengelak ini bukan
ulah kita?
Yang
kedua, minimnya tempat sampah dan besarnya omong kosong kampanye zero waste. Di daerah Riber, aku juga
melihat pemandangan yang sebenarnya menyebalkan sekaligus membingungkan. Aku
melihat begitu banyak penduduk yang mendiami daerah tersebut, tapi entah
mengapa tempat sampah hanya sedikit sekali. Aku tidak tahu apakah ini
memengaruhi prilaku masyarakat dalam menyikapi sampah, tapi aku rasa jika
siapapun peduli pada sampah, solusi pertama yang harus ditawarkan adalah
memeberikan fasilitas pembuangan sampah. Bodoh sekali rasanya jika kita mengharapkan
kesadaran individu dengan terus-terusan mengampanyekan zero waste tanpa memberikan fasilitas pendukung apapun. Sketsa
sederhananya begini, aku ingin membuang
sampah di tempat sampah, tapi saat aku berjalan, aku tidak menemukan tempat
sampah, aku hanya menemukan sungai yang mungkin dapat mengurangi efek tidak
indah dari sampah yang ada di tanganku ini, kemudian aku berpikir “mungkin
kalau aku buang di sini tidak masalah, toh hanya aku sendiri,” kataku pada diriku.
Lalu kemudian aku membuang sampah dan kembali ke rumah untuk pamer di sosial
media bahwa aku sudah bersih-bersih. Menurut sketsa kejadian di atas, mungkin
permasalahan akan selesai jika tokoh “aku” di dalamnya hanya satu orang. Tapi
bagaimana kalau ada seratus ribu tokoh “aku” di satu kecamatan?
Spekulasi
ketiga, manusia secara tidak sadar senang melihat bumi berevolusi. Aku pada
dasarnya percaya bahwa bumi adalah makhluk yang hebat dan kuat. Dia tidak
pernah tersakiti oleh apapun. Ini terbukti saat dia berkali-kali menjadi saksi
pedihnya azab Tuhan kepada kaum-kaum yang ingkar. Namun, bumi juga makhluk, dia
berevolusi untuk menyesuaikan dirinya dengan apa yang dilakukan manusia di
atasnya. Contoh, ketika masyarakat di daerah Riber membuang sampah di sungai,
mereka pasti menyadari bahwa sampah-sampah itu akan mengalir hingga ke laut
sana. Tapi karena terlalu banyak yang berpikir dan bertindak seperti itu,
sehingga menimbulkan penyumbatan jalan air. Di sini juga sebenarnya sudah
terjadi evolusi atas pergerakan air. Ketika terjadi hujan lebat, terjadilah
banjir yang menelan korban jiwa. Manusia pastinya akan berpikir bahwa itu
adalah bencana. Manusia mulai mengaitkan dengan umur bumi yang sudah tua. Padahal
kenyataannya itu adalah air yang mereka harapkan memembawa sampah menjijikan mereka
sampai ke laut sana. Aneh saja bagi diriku yang bodoh ini, kita sampai menyalahkan usia bumi
hanya karena bumi tidak sesuai dengan kehidupan kita. Padahal sejatinya, bumi
berevolusi untuk memberikan dirinya kenyamanan. Dan ulah kita juga yang
menyebabkan bumi kehilangan zona nyamannya. Seharusnya kita terima apa yang
diberikan bumi, mengingat bumi bekerja dalam hukum kausalitas (sebab-akibat).
Ya, mungkin kita harus mengganti istilah bencana dengan konsekuensi atas apa
yang manusia lakukan.
“Aku
setuju! Aku juga miris melihat orang-orang itu tidak peduli pada apa yang ada
di sekitar mereka.” Kataku menyambung percakapan setelah berpikir.
“Apa
yang kurang dari daerah saya, Rul? Ratusan ulama ada di sana, silih berganti
menyampaikan caranya masuk surga agar bisa menikmati bidadari dan anggur, tapi
tidakkah mereka merasa terganggu dengan kenyataan bahwa seratus meter dari
tempat ibadah mereka, sampah menggunung di atas air yang menyebabkan bau dan penyakit-penyakit
menjijikan?!” Riber terlihat makin naik pitam.
“Memang
di daerahmu banyak ulama, tapi di daerahmu minim aktivis lingkungan, bung.”
“Iya,
kamu benar! Itu karena menjadi aktivis lingkungan tidak akan membawamu dan
orang sekitarmu ke surga menurut mereka.” Tukasnya tegas.
“Lalu
solusinya apa?” Tanyaku penasaran mendengar tawaran solusinya.
“Mungkin
solusinya adalah dengan berpenampilan seperti para penda’wah kemudian masuk ke
masjid-masjid dan berkampanye tentang realita sampah yang ada. Soalnya sangat
sulit menyebarkan kebaikan tanpa atribut jubah dan surban belakangan ini.”
Riber tertawa dan menyeruput kopi pahitnya.
“Haha.
Itu bisa jadi solusi bagus! Kemudian untuk mayakinkan masyarakat bahwa kamu
memiliki otoritas untuk berda’wah, aku rasa kamu perlu juga mendandani
teman-temanmu yang sama-sama peduli lingkungan seperti layaknya para penda’wah,
kemudian kalian membuat sebuah naungan ulama-ulama gadungan yang pekerjaannya
berda’wah tentang sampah. Sebut saja, Lembaga Da’wah Sampah.”
“Iya,
solusimu layak dipertimbangkan. Dengan itu, selain aku dapat menggerakan orang
untuk peduli lingkungan, aku juga dapat menarik bayaran dari tiap ceramah yang
ku berikan.” Jawab Riber licik.
“Iya,
silahkan! Dan aku orang pertama yang akan mengutuk sekulerisasimu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar