Minggu, 17 November 2019

Lembaga Da'wah Sampah



Aku sedang duduk menikmati kopiku sambil membaca buku di sebuah kedai kopi langgananku, Bangdik namanya. Tiba-tiba Riber menggebrak mejaku dan menghardik penganjur keshalehan yang saat itu sedang menancapkan dogma pada masyarakat di masjid sekitar daerahnya.
            “Aku sungguh tidak habis pikir bagaimana masyarakat bisa percaya pada omong kosong si shaleh itu!”
            “Maksudnya?” Aku mencoba mendengar penjelasan.
            “Maksudku dia selalu berbicara nikmatnya surga dan panasnya neraka sampai orang selalu berbondong-bondong shalat berjamaah di Masjid setiap hari.”
            “Oke. Bukankah itu sesuatu yang bagus?”
            “Tidak! Itu bukanlah sesuatu yang bagus, itu adalah penghinaan bagi Tuhan karena mereka terlalu sibuk pada ritual penyembahan mereka sampai mereka lupa bahwa di sekitar mereka ada sungai yang tersumbat karena sampah mulai menggunung.”
            Aku terdiam dan mulai berpikir. Riber memang tinggal di kawasan yang padat penduduk. Di daerah tempat tinggalnya selain dipenuhi oleh masyarakat asli, di sana, juga dipenuhi oleh para pelajar yang tinggal sementara dan belajar di yayasan yang dekat dengan kawasan tersebut. Ada sungai yang tidak terlalu besar yang di atasnya sudah dibangun jembatan sejak bertahun-tahun lalu. Ketika aku masih di bangku sekolah dasar, sungai itu masih bisa digunakan untuk mandi. Tapi entah kenapa setelah aku berumur dua puluh tahun lebih, sungai itu beralih fungsi menjadi tempat sampah.
            Ada beberapa spekulasi yang hadir di kepalaku. Yang pertama, nasib sungai yang keberadaannya sudah di bawah jembatan yang bisa dilalui manusia sesuka hati pasti menjadi tempat pembuangan sampah. Tidak selalu pasti di setiap zaman, tapi sudah pasti di zaman ini. Kebanyakan sungai-sungai yang di atasnya ada jembatan, pasti penuh dengan sampah plastik, popok bayi, dan sampah-sampah lainnya. Itu menyebalkan! Tidak ada selain manusia yang bertanggung jawab atas semua ini. Hanya manusia yang tak bisa berpisah dengan plastik. Hanya manusia yang makna penafisran “membuang sampah” adalah menyingkirkan dari pandangan. Hanya manusia yang menggunakan popok dengan penuh harapan agar bayi mereka tidak merepotkan, tapi manusia terlalu tidak berpandangan kedepan sehingga kebersihan lingkungan hidup anaknya tidak dipedulikan dengan membuang popok itu di sungai. Maaf, aku tidak bisa berspekulasi lain, selain ini adalah ulah tangan manusia. Dan mungkin bisa sedikit lebih meyakinkan bahwa di bagian yang jauh dari jembatan, aku melihat masih banyak sungai yang memiliki potensi kehidupan layak tanpa sampah. Ikan-ikan mujair bergerak bebas, bau tidak sedap lenyap, suara gemericik air masih menenangkan dan tidak lagi menjijikan. Kalaupun ada sampah, itu adalah sampah kiriman dari jembatan sebelumnya. Itu juga tidak sebanyak yang ada di bawah jembatan. Masih mau mengelak ini bukan ulah kita?
            Yang kedua, minimnya tempat sampah dan besarnya omong kosong kampanye zero waste. Di daerah Riber, aku juga melihat pemandangan yang sebenarnya menyebalkan sekaligus membingungkan. Aku melihat begitu banyak penduduk yang mendiami daerah tersebut, tapi entah mengapa tempat sampah hanya sedikit sekali. Aku tidak tahu apakah ini memengaruhi prilaku masyarakat dalam menyikapi sampah, tapi aku rasa jika siapapun peduli pada sampah, solusi pertama yang harus ditawarkan adalah memeberikan fasilitas pembuangan sampah. Bodoh sekali rasanya jika kita mengharapkan kesadaran individu dengan terus-terusan mengampanyekan zero waste tanpa memberikan fasilitas pendukung apapun. Sketsa sederhananya begini, aku ingin membuang sampah di tempat sampah, tapi saat aku berjalan, aku tidak menemukan tempat sampah, aku hanya menemukan sungai yang mungkin dapat mengurangi efek tidak indah dari sampah yang ada di tanganku ini, kemudian aku berpikir “mungkin kalau aku buang di sini tidak masalah, toh hanya aku sendiri,” kataku pada diriku. Lalu kemudian aku membuang sampah dan kembali ke rumah untuk pamer di sosial media bahwa aku sudah bersih-bersih. Menurut sketsa kejadian di atas, mungkin permasalahan akan selesai jika tokoh “aku” di dalamnya hanya satu orang. Tapi bagaimana kalau ada seratus ribu tokoh “aku” di satu kecamatan?
            Spekulasi ketiga, manusia secara tidak sadar senang melihat bumi berevolusi. Aku pada dasarnya percaya bahwa bumi adalah makhluk yang hebat dan kuat. Dia tidak pernah tersakiti oleh apapun. Ini terbukti saat dia berkali-kali menjadi saksi pedihnya azab Tuhan kepada kaum-kaum yang ingkar. Namun, bumi juga makhluk, dia berevolusi untuk menyesuaikan dirinya dengan apa yang dilakukan manusia di atasnya. Contoh, ketika masyarakat di daerah Riber membuang sampah di sungai, mereka pasti menyadari bahwa sampah-sampah itu akan mengalir hingga ke laut sana. Tapi karena terlalu banyak yang berpikir dan bertindak seperti itu, sehingga menimbulkan penyumbatan jalan air. Di sini juga sebenarnya sudah terjadi evolusi atas pergerakan air. Ketika terjadi hujan lebat, terjadilah banjir yang menelan korban jiwa. Manusia pastinya akan berpikir bahwa itu adalah bencana. Manusia mulai mengaitkan dengan umur bumi yang sudah tua. Padahal kenyataannya itu adalah air yang mereka harapkan memembawa sampah menjijikan mereka sampai ke laut sana. Aneh saja bagi diriku yang bodoh ini, kita sampai menyalahkan usia bumi hanya karena bumi tidak sesuai dengan kehidupan kita. Padahal sejatinya, bumi berevolusi untuk memberikan dirinya kenyamanan. Dan ulah kita juga yang menyebabkan bumi kehilangan zona nyamannya. Seharusnya kita terima apa yang diberikan bumi, mengingat bumi bekerja dalam hukum kausalitas (sebab-akibat). Ya, mungkin kita harus mengganti istilah bencana dengan konsekuensi atas apa yang manusia lakukan.
            “Aku setuju! Aku juga miris melihat orang-orang itu tidak peduli pada apa yang ada di sekitar mereka.” Kataku menyambung percakapan setelah berpikir.
            “Apa yang kurang dari daerah saya, Rul? Ratusan ulama ada di sana, silih berganti menyampaikan caranya masuk surga agar bisa menikmati bidadari dan anggur, tapi tidakkah mereka merasa terganggu dengan kenyataan bahwa seratus meter dari tempat ibadah mereka, sampah menggunung di atas air yang menyebabkan bau dan penyakit-penyakit menjijikan?!” Riber terlihat makin naik pitam.
            “Memang di daerahmu banyak ulama, tapi di daerahmu minim aktivis lingkungan, bung.”
            “Iya, kamu benar! Itu karena menjadi aktivis lingkungan tidak akan membawamu dan orang sekitarmu ke surga menurut mereka.” Tukasnya tegas.
            “Lalu solusinya apa?” Tanyaku penasaran mendengar tawaran solusinya.
“Mungkin solusinya adalah dengan berpenampilan seperti para penda’wah kemudian masuk ke masjid-masjid dan berkampanye tentang realita sampah yang ada. Soalnya sangat sulit menyebarkan kebaikan tanpa atribut jubah dan surban belakangan ini.” Riber tertawa dan menyeruput kopi pahitnya.
            “Haha. Itu bisa jadi solusi bagus! Kemudian untuk mayakinkan masyarakat bahwa kamu memiliki otoritas untuk berda’wah, aku rasa kamu perlu juga mendandani teman-temanmu yang sama-sama peduli lingkungan seperti layaknya para penda’wah, kemudian kalian membuat sebuah naungan ulama-ulama gadungan yang pekerjaannya berda’wah tentang sampah. Sebut saja, Lembaga Da’wah Sampah.”
            “Iya, solusimu layak dipertimbangkan. Dengan itu, selain aku dapat menggerakan orang untuk peduli lingkungan, aku juga dapat menarik bayaran dari tiap ceramah yang ku berikan.” Jawab Riber licik.
            “Iya, silahkan! Dan aku orang pertama yang akan mengutuk sekulerisasimu!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar