Jumat, 22 November 2019

Lembaga Da'wah Sampah Itu Serius



            Aku menikmati kopiku yang saat itu mulai mendingin. Sementara Riber menundukkan kepalanya seperti sedang memikirkan apa isi otak Descartes saat menulis Discourse of The Method. Kami memang terbiasa berdiskusi di sini. Tidak hanya kami berdua, banyak lagi kawan-kawan lain yang juga ikut berdiskusi. Memang kedai kopi ini memiliki atmosfir yang khas dan terasa pas untuk membicarakan apapun. Tidak heran, banyak yang ketagihan dan menjadikan kedai ini sebagai tongkrongan tetap.  Padahal menunya jauh kalah bersaing dengan kedai-kedai kopi lain di sekitar sini.
            “Tidak! Aku hanya bercanda. Aku tidak mungkin menguangkan apa yang aku anggap sebagai perbuatan mulia. Kalau tidak, artinya aku sama saja dengan orang-orang shaleh itu.” Ungkap Riber melanjutkan diskusi kami tentang sampah.
            “Iya, aku juga hanya bercanda. Mari kita sedikit serius membicarakan masalah sampah ini.” Jawabku
            “Ah, kenapa harus serius? Memangnya kamu peduli apa? Ini sungai di sekitar rumahku.” Respon Riber ketus.
            “Jangan bodoh, bujang! Rumahku tidak jauh dari sungai yang sedang kita bicarakan. Lagipula aku lebih sering menghabiskan waktu di warung kopi keparat ini yang justru sangat dekat dengan sungai penuh sampah itu.”
            “Bohong! Kamu tidak benar-benar peduli! Mana bukti kepedulianmu? Jangan-jangan kamu hanya ingin menghargai apa yang ku bicarakan.”
            “Pantaskah kamu menanyakan bukti kepedulian pada seorang yang rumahnya tidak sedekat rumahmu dengan sungai memprihatinkan itu? Membantumu berpikir saja sudah cukup menjadi bukti kepedulianku. Tinggal kamu sebagai tuan rumah yang harusnya bergerak.”  Aku membela diri.
            Riber terdiam dan menyeruput kopinya.
            Aku tertarik untuk memikirkan masalah kepedulian yang baru saja Riber tanyakan kepadaku. Aku tidak heran jika Riber menanyakan kesungguhan atas kepedulianku. Bahkan sangat wajar dan harus. Karena jika kita berbicara masalah kepedulian, sejatinya kita juga berbicara masalah siapa yang akan membantu kita untuk menemukan solusi dan bergerak mewujudkan solusi itu.
            Kepedulian adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan unik. Dia hanya dirasakan oleh hati namun dapat membuat orang berpikir bahkan lebih jauh dapat membuat orang bertindak. Misalnya ketika terjadi bencana alam, kita merasakan sesuatu di dalam hati, sebuah perasaan aneh yang mendalam saat melihat adanya korban dalam bencana itu dan membuat kita kasihan bahkan bersedih. Setelah mengetahui adanya korban dalam bencana alam yang membuat kita bersedih, perasaan aneh itu bisa berkembang menjadi keinginan untuk membantu, keinginan untuk membantu ini yang pada akhirnya menstimulasi kita untuk berpikir. Ketika kita sudah berpikir dan memutuskan bahwa membantu adalah sesuatu yang baik, maka kita akan bertindak untuk membantu korban bencana alam.
            Perlu dipahami, apa yang ku pikirkan tentang kepedulian di atas adalah bagaimana aku memahami kepedulian dalam diriku sendiri. Pasti ada yang memahami kepedulian dengan cara yang berbeda dan itu sah-sah saja, selama tidak memaksaku untuk menganut kepedulian versinya. Aku juga sadar bahwa kepedulian terlalu abstrak dan luas untuk pendapatku sendiri.
            Aku suka sekali menekankan bahwa kepedulian yang aku pahami bertitikfokus pada perasaan, bukan pikiran atau tindakan setelahnya. Karena bagiku, perasaan adalah fondasi dari segala pikiran dan tindakan. Ketika kita memikirkan penderitaan yang dialami buruh atau bahkan ikut turun ke jalan untuk membela hak-hak buruh, pada dasarnya terlebih dahulu kita memiliki kepedulian terhadap buruh. Aku rasa tidak mungkin ada seorang manusia yang pikiran dan tindakannya tidak dipengaruhi oleh perasaan. Entah itu perasan negatif atau positif, pasti pada awalnya manusia berpikir dan bergerak karena perasaan.
            Aku juga merasakan bahwa perasaan pada hakikatnya memiliki dua sisi, negatif dan positif. Perasaan-perasaan negatif bagiku adalah perasaan-perasaan yang membawa kita bukan kepada pemikiran yang maju, namun kepada pemikiran yang bersifat negatif juga. Bagiku perasaan berbanding lurus dengan pikiran dan tindakan. Perasaan positif pasti akan menimbulkan pikiran dan tindakan yang positif. Begitu juga sebaliknya. Contohnya seperti ketika ada seseorang yang memberikan bantuan kepada satu daerah supaya daerah tersebut memilihnya menjadi pejabat. Pikiran dan tindakannya aku yakin persis seperti ketika seseorang didasari oleh kepedulian. Namun, karena perasaan yang dimiliki di awal adalah negatif, yaitu kepentingan diri sendiri—apapun motifnya, maka sejatinya, dia sudah berpikir dan bertindak negatif.
            Mungkin pendapatku ini juga sedikit dipengaruhi oleh pemikiran Immanuel Kant yang menitikberatkan etikanya pada “good will” atau niat baik atau keinginan untuk berbuat baik. Baginya, seluruh tindakan tidaklah bisa menjadi tolak ukur moralitas, karena manusia tidak pernah bisa untuk mengetahui hasil akhir dari apa yang akan dia lakukan. Banyak tindakan-tindakan yang terlihat bermoral tapi tidak didasari niat baik. Contohnya persis seperti kasus calon pejabat korup di atas. Oleh sebab itu, Kant menyatakan bahwa satu-satunya perbuatan baik adalah keinginan untuk berbuat baik. Kalau kita sudah ingin untuk berbuat baik, pasti menghasilkan tindakan yang juga baik menurut kita. Masalah dilihat oleh manusia sebagai tindakan yang kurang baik atau bagaimana, itu masalah penafsiran orang lain belaka. Lagipula juga kita harus sadari, sebermoral apapun tindakan yang kita lakukan, akan selalu ada yang menganggapnya tidak bermoral. Bukankah tersenyum ke orang yang tidak dikenal di Indonesia adalah bentuk keramahan, sementara di Rusia itu adalah bentuk perbuatan yang kurang sopan?
             “Hei, berbicara masalah kepedulian, percayalah tindakanku untuk membantumu menemukan solusi ini berasal dari perasaanku yang terdalam.” Aku menyapa Riber yang sepertinya ingin bicara tapi segan.
            “Iya. Lantas bagaimana solusi yang kau tawarkan? Tentunya selain Lembaga Da’wah Sampah itu.” Tanya Riber.
            “Aku serius masalah Lembaga Da’wah Sampah itu. Aku rasa memang itu adalah cara yang tepat untuk membuat manusia di daerahmu sadar akan ancaman sampah. Yang sekarang menjadi diskusi kita sebaiknya adalah cara yang tepat untuk menyadarkan. Dan aku mohon jangan kita membahas kalau kamu harus menggunakan atribut keagaaman. Itu menjengkelkan jika harus membayangkannya.”
            “Bagaimana kalau setelah kita membangun Lembaga Da’wah Sampah itu, kita bergerak sendiri tanpa ada bantuan masyarakat. Artinya kita berikan masyarakat melihat bahwa tindakan kita bukanlah main-main. Dengan melihat tindakan kita, bisa saja masyarakat akhirnya tersadar dan ikut membantu.” Riber melemparkan solusi serius pertama.
            “Emmm. Idemu cukup bagus. Tapi jika melakukan itu, kita harus siap untuk konsisten dan siap menerima hujatan masyarakat yang mengatakan kita “sok” peduli pada lingkungan. Terlebih kita bukan dari background orang terpandang. Aku tidak bermasksud melemahkan, tapi rasanya naif jika seluruh anggota Lembaga Da’wah Sampah ini akan bertahan dari serangan pandangan masyarakat yang lumayan bar-bar itu.”
            “Benar juga. Itu perlu dipertimbangkan. Lalu bagaimana?”
            “Nah, solusi yang ku tawarkan adalah menanamkan kepedulian yang besar kepada anggota-anggora Lembaga Da’wah Sampah terlebih dahulu. Artinya kita berangkat dari anggota kita sendiri. Kalau sekarang kita hanya punya anggota dua orang, itu adalah kamu dan aku, maka kita tanamkan dulu sedalam-dalamnya kepedulian kita kepada lingkungan, khususnya sungai yang kita bicarakan ini. Aku yakin lama-kelamaan  kita akan punya anggota yang juga kita akan tanamkan kepedulian yang sama, sehingga kita kokoh dari dalam.” Aku menyampaikan solusi berdasarkan pemikiranku.
            “Wah, solusimu lumayan juga. Baiklah kita akan lahirkan Lembaga Da’wah Sampah detik ini juga. Aku akan mulai berda’wah hari ini ke teman-teman tongkrongan yang lain kalau mereka sudah datang.”
            “Oke. Saya akan teruskan bacaanku dan menghabiskan kopiku.”
            Riber beranjak pergi entah ke mana saat aku mengambil bukuku dan mulai membukanya. Sepertinya dia akan berpikir serius. Aku tersenyum.
“Akhirnya pengangguran ulung itu punya sesuatu untuk dikerjakan.” Kataku dalam hati.

Minggu, 17 November 2019

Lembaga Da'wah Sampah



Aku sedang duduk menikmati kopiku sambil membaca buku di sebuah kedai kopi langgananku, Bangdik namanya. Tiba-tiba Riber menggebrak mejaku dan menghardik penganjur keshalehan yang saat itu sedang menancapkan dogma pada masyarakat di masjid sekitar daerahnya.
            “Aku sungguh tidak habis pikir bagaimana masyarakat bisa percaya pada omong kosong si shaleh itu!”
            “Maksudnya?” Aku mencoba mendengar penjelasan.
            “Maksudku dia selalu berbicara nikmatnya surga dan panasnya neraka sampai orang selalu berbondong-bondong shalat berjamaah di Masjid setiap hari.”
            “Oke. Bukankah itu sesuatu yang bagus?”
            “Tidak! Itu bukanlah sesuatu yang bagus, itu adalah penghinaan bagi Tuhan karena mereka terlalu sibuk pada ritual penyembahan mereka sampai mereka lupa bahwa di sekitar mereka ada sungai yang tersumbat karena sampah mulai menggunung.”
            Aku terdiam dan mulai berpikir. Riber memang tinggal di kawasan yang padat penduduk. Di daerah tempat tinggalnya selain dipenuhi oleh masyarakat asli, di sana, juga dipenuhi oleh para pelajar yang tinggal sementara dan belajar di yayasan yang dekat dengan kawasan tersebut. Ada sungai yang tidak terlalu besar yang di atasnya sudah dibangun jembatan sejak bertahun-tahun lalu. Ketika aku masih di bangku sekolah dasar, sungai itu masih bisa digunakan untuk mandi. Tapi entah kenapa setelah aku berumur dua puluh tahun lebih, sungai itu beralih fungsi menjadi tempat sampah.
            Ada beberapa spekulasi yang hadir di kepalaku. Yang pertama, nasib sungai yang keberadaannya sudah di bawah jembatan yang bisa dilalui manusia sesuka hati pasti menjadi tempat pembuangan sampah. Tidak selalu pasti di setiap zaman, tapi sudah pasti di zaman ini. Kebanyakan sungai-sungai yang di atasnya ada jembatan, pasti penuh dengan sampah plastik, popok bayi, dan sampah-sampah lainnya. Itu menyebalkan! Tidak ada selain manusia yang bertanggung jawab atas semua ini. Hanya manusia yang tak bisa berpisah dengan plastik. Hanya manusia yang makna penafisran “membuang sampah” adalah menyingkirkan dari pandangan. Hanya manusia yang menggunakan popok dengan penuh harapan agar bayi mereka tidak merepotkan, tapi manusia terlalu tidak berpandangan kedepan sehingga kebersihan lingkungan hidup anaknya tidak dipedulikan dengan membuang popok itu di sungai. Maaf, aku tidak bisa berspekulasi lain, selain ini adalah ulah tangan manusia. Dan mungkin bisa sedikit lebih meyakinkan bahwa di bagian yang jauh dari jembatan, aku melihat masih banyak sungai yang memiliki potensi kehidupan layak tanpa sampah. Ikan-ikan mujair bergerak bebas, bau tidak sedap lenyap, suara gemericik air masih menenangkan dan tidak lagi menjijikan. Kalaupun ada sampah, itu adalah sampah kiriman dari jembatan sebelumnya. Itu juga tidak sebanyak yang ada di bawah jembatan. Masih mau mengelak ini bukan ulah kita?
            Yang kedua, minimnya tempat sampah dan besarnya omong kosong kampanye zero waste. Di daerah Riber, aku juga melihat pemandangan yang sebenarnya menyebalkan sekaligus membingungkan. Aku melihat begitu banyak penduduk yang mendiami daerah tersebut, tapi entah mengapa tempat sampah hanya sedikit sekali. Aku tidak tahu apakah ini memengaruhi prilaku masyarakat dalam menyikapi sampah, tapi aku rasa jika siapapun peduli pada sampah, solusi pertama yang harus ditawarkan adalah memeberikan fasilitas pembuangan sampah. Bodoh sekali rasanya jika kita mengharapkan kesadaran individu dengan terus-terusan mengampanyekan zero waste tanpa memberikan fasilitas pendukung apapun. Sketsa sederhananya begini, aku ingin membuang sampah di tempat sampah, tapi saat aku berjalan, aku tidak menemukan tempat sampah, aku hanya menemukan sungai yang mungkin dapat mengurangi efek tidak indah dari sampah yang ada di tanganku ini, kemudian aku berpikir “mungkin kalau aku buang di sini tidak masalah, toh hanya aku sendiri,” kataku pada diriku. Lalu kemudian aku membuang sampah dan kembali ke rumah untuk pamer di sosial media bahwa aku sudah bersih-bersih. Menurut sketsa kejadian di atas, mungkin permasalahan akan selesai jika tokoh “aku” di dalamnya hanya satu orang. Tapi bagaimana kalau ada seratus ribu tokoh “aku” di satu kecamatan?
            Spekulasi ketiga, manusia secara tidak sadar senang melihat bumi berevolusi. Aku pada dasarnya percaya bahwa bumi adalah makhluk yang hebat dan kuat. Dia tidak pernah tersakiti oleh apapun. Ini terbukti saat dia berkali-kali menjadi saksi pedihnya azab Tuhan kepada kaum-kaum yang ingkar. Namun, bumi juga makhluk, dia berevolusi untuk menyesuaikan dirinya dengan apa yang dilakukan manusia di atasnya. Contoh, ketika masyarakat di daerah Riber membuang sampah di sungai, mereka pasti menyadari bahwa sampah-sampah itu akan mengalir hingga ke laut sana. Tapi karena terlalu banyak yang berpikir dan bertindak seperti itu, sehingga menimbulkan penyumbatan jalan air. Di sini juga sebenarnya sudah terjadi evolusi atas pergerakan air. Ketika terjadi hujan lebat, terjadilah banjir yang menelan korban jiwa. Manusia pastinya akan berpikir bahwa itu adalah bencana. Manusia mulai mengaitkan dengan umur bumi yang sudah tua. Padahal kenyataannya itu adalah air yang mereka harapkan memembawa sampah menjijikan mereka sampai ke laut sana. Aneh saja bagi diriku yang bodoh ini, kita sampai menyalahkan usia bumi hanya karena bumi tidak sesuai dengan kehidupan kita. Padahal sejatinya, bumi berevolusi untuk memberikan dirinya kenyamanan. Dan ulah kita juga yang menyebabkan bumi kehilangan zona nyamannya. Seharusnya kita terima apa yang diberikan bumi, mengingat bumi bekerja dalam hukum kausalitas (sebab-akibat). Ya, mungkin kita harus mengganti istilah bencana dengan konsekuensi atas apa yang manusia lakukan.
            “Aku setuju! Aku juga miris melihat orang-orang itu tidak peduli pada apa yang ada di sekitar mereka.” Kataku menyambung percakapan setelah berpikir.
            “Apa yang kurang dari daerah saya, Rul? Ratusan ulama ada di sana, silih berganti menyampaikan caranya masuk surga agar bisa menikmati bidadari dan anggur, tapi tidakkah mereka merasa terganggu dengan kenyataan bahwa seratus meter dari tempat ibadah mereka, sampah menggunung di atas air yang menyebabkan bau dan penyakit-penyakit menjijikan?!” Riber terlihat makin naik pitam.
            “Memang di daerahmu banyak ulama, tapi di daerahmu minim aktivis lingkungan, bung.”
            “Iya, kamu benar! Itu karena menjadi aktivis lingkungan tidak akan membawamu dan orang sekitarmu ke surga menurut mereka.” Tukasnya tegas.
            “Lalu solusinya apa?” Tanyaku penasaran mendengar tawaran solusinya.
“Mungkin solusinya adalah dengan berpenampilan seperti para penda’wah kemudian masuk ke masjid-masjid dan berkampanye tentang realita sampah yang ada. Soalnya sangat sulit menyebarkan kebaikan tanpa atribut jubah dan surban belakangan ini.” Riber tertawa dan menyeruput kopi pahitnya.
            “Haha. Itu bisa jadi solusi bagus! Kemudian untuk mayakinkan masyarakat bahwa kamu memiliki otoritas untuk berda’wah, aku rasa kamu perlu juga mendandani teman-temanmu yang sama-sama peduli lingkungan seperti layaknya para penda’wah, kemudian kalian membuat sebuah naungan ulama-ulama gadungan yang pekerjaannya berda’wah tentang sampah. Sebut saja, Lembaga Da’wah Sampah.”
            “Iya, solusimu layak dipertimbangkan. Dengan itu, selain aku dapat menggerakan orang untuk peduli lingkungan, aku juga dapat menarik bayaran dari tiap ceramah yang ku berikan.” Jawab Riber licik.
            “Iya, silahkan! Dan aku orang pertama yang akan mengutuk sekulerisasimu!”

Senin, 28 Oktober 2019

Jangan Lindungi Bumi, Boss!


Waktu itu saya lagi di jalan ke tempat nongkrong, tiba-tiba di sebelah kiri saya ada anak-anak muda duduk sambil ngomongin gimana cara menyadarkan orang untuk melindung bumi. Emmm, melindungi bumi? Enggak salah?
            Buat apa melindungi bumi? Apakah penting? Apakah bumi sedang dalam pengejaran polisi alam semesta? Apakah kita sudah merasa lebih kuat dari bumi sampai ingin melindunginya? Kita emang kadang ngehe dalam berlogika. Seolah-olah semua yang kita lakukan di muka bumi ini untuk kebaikan bumi sendiri. Padahal bumi juga sebenarnya tidak terlalu membutuhkan apa yang kita lakukan. Bumi akan ditanami pohon atau ditanami beton tetap jadi bumi. Jadi, jangan berlagak tahu tentang perasaan bumi, deh!
            Tapi banyak orang pasti jawab, “bumi itu udah tua, jadi harus kita lindungi.” Konsep hidup bumi itu bagi saya tidak seperti konsep manusia. Yang kalau semakin tua malah jadi ngerepotin. Konsep bumi itu bagi saya adalah semakin tua semakin berpengalaman. Semakin tahu dia cara menjaga diri.
Mungkin akan banyak yang tidak setuju dengan statement di atas, tapi cobalah berpikir bahwa 4.543 miliar tahun itu artinya bumi sudah hidup sangat lama. Lebih lama dari semua hal yang sekarang ada di atasnya. Dan saya yakin, selama waktu yang begitu panjang, bumi sudah diterpa banyak fenomena alam. Yang kalau kita lihat sekarang, kita pasti akan mengkambinghitamkan usia bumi yang sudah tua. Padahal ketika masih mudapun, bumi sudah diterkam bencana.
Bayangkan diawal-awal bumi ini menjadi planet, matahari menyinarinya begitu saja tanpa ada lapisan yang menghalangi. Bumi dan matahari bebas berteman tanpa ada hijab lapisan ozon yang menghalanginya. Bumi baik-baik saja saja dengan hal seperti itu selama bermiliar-milair tahun.
Lalu entah bagaimana, ada makhluk dari spesies homo yang namanya sapiens yang baru hidup mungkin sekitar beberapa ratus ribu tahun silam berkoar-koar di semua media kalau bumi membutuhkan pertolongannya. Seolah-olah yang lemah itu bumi. Seolah-olah kalau tidak ada manusia bumi ini akan hancur. Padahal itu hanya alibi kita untuk terlihat kuat di atas bumi. Sebenarnya kita hanya takut lapisan ozon menipis karena akan merusak kulit kita. Kesimpulannya, yang takut itu kita bukan bumi.
Manusia yang hidupnya paling lama di muka bumi ini adalah Nabi Nuh, sampai 1.000 tahun. Dan pada waktu itu, Nabi Nuh menyaksikan sendiri hukuman yang ditimpakan kepada kaumnya oleh Tuhan. Untuk yang sering membaca kisah nabi pastinya familiar dengan kisah ini. Benar! Banjir terbesar yang pernah terjadi di muka bumi. Dan apakah banjir itu menyebabkan bumi merintih kesakitan? Tidak!
Sekitar 70.000 tahun silam, bumi mengalami zaman es yang menyebabkan banyaknya kematian makhluk hidup diatasnya. Kemudian sekitar 40.000 tahun silam ada perubahan iklim yang menyebabkan bumi ini memanas. Dan lagi sekitar 20.000 tahun silam bumi mengalami zaman es yang terakhir.  Lalu apakah bumi merintih kesakitan karena itu? Tidak! Bumi dengan cepat pulih kembali, bahkan mungkin bumi tidak pernah merasa bahwa itu adalah hal yang menyakitkan.
Maksud saya, apakah bumi tidak terlalu kuat bagi kita kemudian kita menganjurkan umat sapiens untuk terus melindungi bumi? Lihatlah fakta-fakta sejarah yang menjadikan bumi harusnya kita pandang sebagai makhluk yang tak perlu perlindungan. Bahkan mungkin kita yang memerlukan perlindungannya. Naif dan terlalu sombong kita jika terus-menerus mempertahankan apa yang sekarang sedang ramai dikampanyekan banyak orang.
Masih sangat banyak fakta-fakta sejarah tentang bumi yang katanya sudah tua dan harus kita lindungi ini. Tidak salah lagi, sebenarnya ini hanyalah pembenaran yang kita lakukan untuk menyembunyikan ketakutan kita akan kehancuran dan kematian. Mungkin kita tidak pernah benar-benar mencintai bumi. Mungkin kita hanya menumpang tenar untuk jadi panitia earth hour dan tidak benar-benar menyayangi bumi.
Dan menurut saya lagi, bumi akan selalu menemukan cara untuk membuat dirinya terbiasa akan sesuatu yang baru. Semisal limbah-limbah pabrik atau sampah-sampah pelastik yang katanya butuh waktu 1000 tahun untuk terurai. Bumi sejatinya tidak pernah ada masalah dengan hal seperti itu. Bumi akan selalu baik-baik saja kalau plastik dan limbah dibuang sembarangan. Hanya saja bumi itu juga makhluk, dia butuh menyesuaikan dirinya. Dan sayangnya ketika dia menyesuaikan diri, bisa jadi kita tidak bisa menyesuaikan diri dengan dia.
Sebagai contoh saja, di Lombok orang-orang masih membuang sampah ke sungai. Karena banyaknya sampah di sungai yang tertumpuk, akhirnya sungai menjadi kotor, bau, dan sering terhambat pergerakan airnya. Yang akhirnya menyebabkan banyaknya anak-anak terkena penyakit menular dan banjir yang menenggelamkan rumah-rumah mereka.
Air menjadi kotor dan bau adalah cara bumi untuk menyesuaikan dirinya dengan sampah-sampah itu. Penghambatan laju air juga cara bumi untuk menyesuaikan dirinya sendiri. Tapi yang menjadi masalahnya, tempat itu menjadi tidak layak huni bagi manusia. Sehingga manusia harus keluar dari wilayah bumi yang sudah menyesuaikan diri itu. Jadi kerugiannya bukan untuk bumi, tapi untuk manusia dan makhluk hidup lain di atasnya.
Ada lagi. Gempa yang terjadi beberapa tahun belakangan ini bisa kita bilang cukup sering. Di Lombok, Palu dan beberapa daerah lain. Kita semua takut akan hal itu. Akhirnya banyak yang mengatakan bahwa ini adalah akibat bumi tersakiti. Padahal itu adalah cara bagi bumi untuk membiasakan dirinya dengan lempeng yang terus bergerak. Tidak ada bedanya dengan ketika tenggorokan kita gatal, lalu kita meredakannya dengan cara batuk. Tidak ada bedanya. Hanya bumi memang menang lebih besar saja.
Jadi, sebenarnya yang perlu dilindungi itu kita. Para manusia yang sok lebih kuat dari yang lain. Para manusia yang merasa hanya karena kita mampu berpikir, pikiran kita itu menjadi 100 % benar. Kita yang harusnya dikampanyekan oleh bumi ke seluruh alam semesta bahwa kita terlalu lemah untuk bisa bertahan di suhu yang tak terprediksi.
Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk bumi? Jawabannya sangat sederhana, akuilah bahwa kita yang membutuhkan bumi dan lakukan yang terbaik untuk memberikan kenyamanan pada kehidupan di atasnya. Karena bumi tidak akan pernah menjadi korban, kita dan makhluk hidupa lain yang menjadi korban.
Jika mengingat kita yang begitu tidak berdaya ini, seharusnya peran kita tidak begitu penting untuk bumi. Tapi sekiranya, jika 250 juta jiwa saja melakukan hal yang sama, sepertinya dampaknya akan sangat terlihat. Misalnya dengan tidak membuang sampah ke sungai dan laut agar bumi tidak menyesuaikan dirinya dan memaksa kita untuk pergi.
Yuk, kita akui kelemahan kita dan mulai berikan kenyamanan bagi kehidupan di atas bumi! Dan jangan lupa, jangan pakai kata “lindungi bumi” lagi, ya!

Rabu, 03 Juli 2019

Hijrah : Bertuhan atau Trend?


            Fenomena hijrah belakangan ini begitu meramaikan jagat kehidupan masyarakat Indonesia. Banyak penceramah-penceramah yang ada di media sosial terus menyuarakan hijrah sebagai standar moralitas milenial. Banyak pula pemuda-pemudi yang merasa sudah hijrah hanya karena mendengar ceramah satu menit, dua menit di media sosial mengatakan bahwa orang-orang yang belum hijrah belum menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Benarkah demikian?
            Hijrah secara harfiah artinya meninggalkan. Namun, hijrah dapat diartikan sebagai sesuatu yang esensial, yaitu usaha atau kondisi manusia untuk meninggalkan duniawi dan menyerahkan dirinya kepada Allah secara menyeluruh. Ini pandangan para sufi tentang hijrah. Berdasarkan hadits Nabi SAW yang diterangkan oleh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam yang artinya, “Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW, ‘Siapa saja yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Tetapi siapa yang berhijrah kepada dunia yang akan ditemuinya, atau kepada perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya.’ Pahamilah sabda Rasulullah SAW ini. renungkanlah bila kau termasuk orang yang memiliki daya paham.”
            Jadi, mari kita sepakati bahwa dalam ilmu Tasawuf, hijrah memiliki arti menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan Rasulnya dan meninggalkan urusan duniawi. Jelas hijrah inilah yang dimaksudkan dengan “Taqwa”. Penyerahan diri secara total kepada Allah semata, tidak melakukan apa yang tidak diperintahkan oleh Allah dan menjalani semua yang dilarang oleh Allah disertai dengan kesadaran akan penghambaan kita kepada Allah. Bahwa kita hanyalah hamba. Bahwa kita hanyalah makhluk dan Dia adalah Khalik. Kita adalah mumkinul wujud (mungkin ada) dan Dia adalah wajibul wujud (pasti ada).
            Perlu digaris bawahi bahwa yang menjadi titik kritik atas fenomena hijrah belakangan ini adalah para pelaku hijrah yang merasa dirinya paling benar dan menyalah-nyalahkan orang lain, membid’ah-bid’ahkan orang lain, meng-kafir-kafirkan orang lain dan menilai-nilai orang lain. Para pelaku hijrah merasa paling bertaqwa kepada Allah, paling taat kepada Allah sehingga dapat hak dari Allah untuk menyalah-nyalahkan orang lain. Padahal sejatinya, Taqwa itu bukan hanya perkara shalat, puasa, zakat, haji dan kuota youtube yang habis untuk menonton ceramah tentang pernikahan, tapi taqwa itu juga tentang syahadat, yaitu pengakuan kita kepada Allah bahwa kita adalah hambanya. Menilai orang lain itu bukanlah tugas manusia, menilai itu adalah tugas Allah sebagai Tuhan, sebagai yang Maha Tinggi untuk memberikan penilaian akhir seseorang. Jika pelaku hijrah menganggap diri mereka bertaqwa, harusnya para pelaku hijrahlah yang paling menerapkan “don’t judge a book by it’s cover” karena kepahaman dan keshalehan yang para pelaku hijrah miliki. Lantas kenapa malah sebaliknya? Adakah yang salah dengan hijrah mereka?
            Hanya ada satu jawaban, yaitu karena terlalu sedikit ilmu barakah yang mereka miliki. Tentu ilmu adalah segala hal yang dapat mengantarkan kita kepada kesejatian kita sebagai manusia, yaitu sebagai hamba. Itu sebabnya Rasulullah banyak bersabda tentang keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu. Ilmu dapat didapatkan dari mana dan di mana saja. Karena semua yang ada di muka bumi ini dibuat oleh Allah sebagai suatu pembelajaran untuk manusia, karena manusialah satu-satunya objek yang diberikan anugrah untuk memilih yang baik atau buruk dengan akalnya. Itu sebabnya banyak Allah sebutkan dalam Al Qur’an, “agar kamu berpikir.”
            Lalu kalau begitu, tentu saja youtube juga bisa menjadi sarana kita untuk menuntut ilmu. Namun, sekirannya dipahami terlebih dahulu bahwa ilmu itu tidak bisa didapatkan keberkahannya apabila tidak ada usaha yang keras untuk mendapatkannya. Ulama-ulama dan Imam-Imam terdahulu harus bersimbah keringat bahkan darah untuk bisa mendapatkan ilmu dan menjaga juga melestarikannya agar umat manusia tidak tersesat di akhir zaman. Para ulama dan imam itu tidak pernah lelah siang dan malam menuntut ilmu sebanyak mungkin guna menjaga kita. Sampai mungkin habis waktu yang mereka miliki agar kita mendapatkan pencerahan dan tak kembali ke zaman jahiliyah. Itu sebabnya usaha itu selalu diperhitungkan Allah saat memberikan keberkahan.
            Lalu entah kenapa di zaman kita ini dengan mudahnya orang menyalahkan orang lain hanya karena baru mendapatkan ilmu di media sosial yang mungkin saat menonton itu bisa saja sambil bersantai-santai makan kacang, ngopi atau sambil membalas chat whatsapp. Jelas itu ada kesalahan dalam tata cara menuntu ilmu. Tidak ada pengorbanan, tidak ada barakah. Tidak ada barakah, ilmunya jadi tidak bermanfaat. Kemudian jadilah manusia-manusia yang gemar menyalahkan manusia lain.
            Maka dari itu, mari kita sama-sama kembali kepada esensi hijrah yang sebenarnya. Hijrah yang diajarkan oleh para ulama kita, para imam kita dan para sufi, agar kita bisa menjadi manusia seutuhnya. Menjadi manusia yang sadar bahwa posisinya di alam semesta ini hanya sebagai hamba dari Tuhan yang Maha Kuat, Maha Keren, Maha Asyik dan Maha Tidak Gampang Marah.


Wallahua'lam